Daerah Istimewa
Yogyakarta, kota yang sangat ingin ku kunjungi sedari dulu. Namanya saja daerah
istimewa, jelas banyak keistimewaan yang terhampar disetiap sudut kota
tersebut. Entah kebetulan atau memang rencana Tuhan, aku diijinkan untuk
menginjakkan kaki di kota yang penuh dengan budaya dan wisata itu. Lewat sebuah
Yayasan Daarul Qur’an milik ust. Yusuf Manshur, aku akan menapaki kakiku ke
kota Yogyakarta (penuh semangat). Kalian pasti bertanya-tanya dalam benak
kalian, apa hubunganku dengan yayasan tersebut? sekilas cerita yang penuh
makna, beberapa waktu lalu tepatnya di
bulan ramadhan aku menjadi salah satu relawan di yayasan tersebut. Menjaga
gerai sedekah disuatu tempat di kota Bandung. Pengalaman yang sangat menyenangkan,
penuh tantangan dan pengorbanan. Bertemu banyak teman baru yang memiliki
kemampuan, pengalaman dan kepribadiannya masing-masing. Sungguh diluar dugaan,
aku mendapatkan penghargaan sebagai relawan teraktif, staf kantor dan
teman-temanku menyebutnya dengan “relawan tanpa urat malu”. Karena digerai aku
sangat aktif dan cekatan menarik donatur untuk mensedekahkan, menzakatkan dan
mewakafkan sebagian hartanya pada yayasan kami yang akan kami salurkan yang
sebagian besar pada penghafal al-qur’an. Aku mendapatkan piagam, bonus buku
ust. Yusuf Manshur, dan beberapa waktu kemudian aku dihubungi orang kantor
untuk mengikuti program acara ke Jogja bersama empat staf kantor yaitu kang
Maulana, kang Haryadi, kang Ridwan dan teh Alexandria atau yang biasa aku
panggil teh Lexi. Dan juga tiga teman relawanku seperti teh Novia, kang Ade dan
kang Eko. Pemberangkatan ke Jogja dijadwalkan tanggal 26 agustus 2013. Satu
hari sebelum hari pemberangkatan, aku mempersiapkan segalanya untuk ke Jogja
dari beberapa potongan baju, celana, sandal, dan barang lainnya yang memang aku
butuhkan disana. Merapihkannya pada sebuah ransel hitam besar, dan tambahan tas
selempang kecil untuk menaruh dompet dan handponeku agar mempermudah jika ada
panggilan masuk atau transaksi lainnya.. Begitu banyak bayang-bayang sisi Jogja
yang aku idamkan.
Aku
segera kumpul di Daarul Qur’an jam 4 sore, yang bertempat di jalan P.U
pengairan atau belakang R.S Al-Islam. Menunggu semuanya kumpul dan
mempersiapkan segalanya. Sungguh tak sabar rasanya ingin segera sampai.
Menikmati suasana Jogja yang eksotis, memandang panorama indah disetiap pojokan
kota Jogja yang penuh dengan budaya dan wisata. Setelah pukul 5 sore, kami
bergegas pergi ke terminal cibiru. Dengan diantar mobil xenia putih yang
dikendalikan oleh kang Dede (staf kantor), mobil melaju dengan cepat.
Sesampainya di terminal, suara adzan berkumandang, kami langsung bergegas
melangkah kerumah Alloh untuk sholat magrib berjamaah.. Hampir satu jam
menunggu, bis Budiman jurusan Bandung-Jogjakarta pun datang. Kami segera
meletakkan barang-barang di bagasi belakang,aku, teh Novi, teh Lexy dan kang
Ridwan duduk dikursi paling belakang sedangkan kang Maulana dan kang Haryadi
duduk didepanku, kang Ade duduk didepan kang Maulana. Kang Eko berangkat ke
jogja dari Purwodadi. Sambil menunggu sang sopir menancapkan gasnya kami
bercengkrama bersama bercerita tentang program kami di Jogja. Duduk dikursi
bernuansa biru bercorak penuh warna. Setelah beberapa lama kemudian bispun
berjalan dengan kecepatan yang tak biasa. Seperti menaiki rollercoaster, dengan
kecepatan penuh sang sopir mengendalikan bisnya seakan melayang-layang
dibuatnya. Penumpang bis yang tidak terlalu penuh membuat ruang begitu
melegakan, tak ada acara berhimpitan atau apapun itu. Beberapa teman-temanku
tertidur lelap disuasana bis yang luar biasa cepat dan ditambah jalanan yang
tidak semulus jalan tol. Aku terdiam, melihat panorama indah dimalam hari lewat
etalase jendela bis. Begitu sunyi dan begitu damai suasana yang terjadi saat
itu. Tak terasa perjalanan sudah sampai daerah Ciamis jam 12 malam, kondektur
bis membangunkan penumpang untuk segera turun dan menikmati hidangan makan
malam disalah satu rumah makan. Rombongan kamipun ikut turun dan segera
mengantri. Dengan mata yang masih terkantuk-kantuk aku lekas mengambil piring, ku
isi dengan nasi putih, ati ampela, dan sayur sop. Akupun lekas menempatkan diri
dimeja makan yang masih kosong, yang lainnya pun mengikuti. Ku llihat
sekelilingku, para penumpang begitu lahap menyantap hidangannya dengan wajah
yang mungkin masih setengah sadar. Rumah makan yang cukup luas berdinding cream
dan dipadu padankan coklat muda dan dengan hamparan makanan prasmananya.
Usai makan, semua
penumpang kembali kedalam bis, dan duduk ditempatnya masing-masing, begitupun
aku dan rombongan. Rasanya kenyang sekali, hawa kantukpun semakin
melanda kelopak mataku. akupun tertidur tak sadarkan diri, inilah efek karena
sedrai dari mataku terjaga memandangi pemandangan malam diluar sana. Dug.
Tiba-tiba suara keras terdengar, spontan akupun terbangun. Ku melihat-lihat pada
kedaan sekitarku, yang lainpun ikut terbangun saking kerasnya suara tersebut.
saat ku menoleh kearah kanan tepat tempat duduk teh novi, kaca jendela yang
besar dan tebal itu pecah. Kepingan-kepingan kaca itu berserakan, sampai
berhamburan kekursiku. Dengan kesadaran yang belum seutuhnya full, aku dan yang
lain ditegaskan untuk pindah tempat duduk. Tak diduga serpihan kaca sampai
terhempas kedalam sepatuku, dan memenuhi kerudungku. Teh novi menunjukkan batu
yang menghantam pundaknya,
batu lonjong yang halus itu tidak terlalu besar,
tapi bisa menembus kaca bahkan menghantam pundak temanku sungguh diluar logika.
Ku bergegas pindah kekursi keempat dari belakang. Ku menoleh pada pemandangan
luar yang hanya dipenuhi pemakaman, sawah, dan pepohonan. Tak ada kehidupan
rasanya. Lantas, siapa yang melempar batu itu? kulihat jam, ternyata pukul
setengah tiga pagi. Sungguh sulit dimengerti oleh logika. Setelah kejadian itu,
aku tak dapat tidur kembali, rasa khawatir dan takut melandaku. Pikiranku
kacau, jantungku berdegup cepat, tanganku mendadak dingin. Ku bergegas berdo’a,
memohon perlindungan Alloh yang Maha Kuasa. Aku hanya duduk melamun memikirkan
sesuatu yang tak seharusnya dipikirkan, sebuah kekhawatiran besar yang sangat
menggangguku. Sesekali ku menoleh pada kaca bagian kursi paling belakang,
lubang kaca itu semakin besar. Seluruh kaca itu rapuh terkoyak goncangan bis
yang kuat, serta terhempas angin malam yang kencang. Sebagian dari rapuhan kaca
itu perlahan jatuh memenuhi kursi. Aku berjalan kekursi belakang untuk sekedar
mengambil minum dan membangunkan kang ade agar pindah kedepan karena hembusan
angin yang semakin kencang. Setelah beberapa kemudian, aku tertidur lelap.
Sekitar jam 5 pagi kang
Maulana membangunkanku,ternyata kita udah sampai kota Jogja. aku semakin shock rasanya ketika melihat kaca depan supir yang retak.
mungkin terkena hantam batu pula? entah siapa yang melakukannya. alhamdulillah kami sudah sampai Jogja. Rasanya menyebut
kata Jogja itu seperti ada sensasi tersendiri. Aku bergegas merapihkan diri,
merapihkan wajah yang setengah sadar. Beberapa lama kemudian sampailah kami
diterminal Giwangan kota Yogyakarta.
Kami segera turun dan bergegas ke mushola
untuk sholat subuh. Ada pihak Daarul Qur’an Jogja yang menjemput kami dengan
mobil, kamipun segera berangkat untuk mencari sarapan. Sop pak Min
yang katanya
terkenal itu menjadi santapan kami dipagi yang cerah ini. Rumah makan yang
sederhana dengan bangunan kayu, kami duduk dikursi dan meja yang terbuat dari
kayu pula. Sambil menunggu pesanan, kami sekedar mengemil jajanan yang terhampar
dimeja makan. Beberapa tahu goreng, tempe goreng, perkedel dan ba’wan yang aga
aneh yang komposisinya itu seperti tahu dan toge tapi rasanya enak. Aku cicipi
satu persatu jajanan itu, dengan ala pak bondan di wisata kkuliner aku
mengikuti cara beliau mencicipi makanan dan mengomentarinya. Semua tertawa dan bilang
kalau aku ini lebay. Ya, seperti itu lah aku. Hehehe setelah hampir nsetengah jam menunggu akhirnya sop pun datang. sepertinya isi sopnya, kenung telur utuh, jeroan ayam, dan rempah-rempah lainnya. rasanya itu.... hmmm... enak sekali.
Setelah sarapan, kami bergegas ke kantor Daarul Qur’an
untuk membersihkan diri. kantor yang cukup luas dengan dua lantai diatasnya dan
AC yang membuat sejuk ruangan membuat kenyamanan tersendiri.
Setelah
membersihkan diri dan berta’aruf dengan
staf kantor, kami segera pergi ke gunung merapi. Petualangan dimulai....
Perjalanan
dari kantor ke merapi cukup lama, entah kami melawati jalur mana aku tidak
begitu tau. Aku terpaku pada handpone ditanganku. Beberapa saat kemudian ku
tertidur, mungkin mangantuk karena semalaman aku tidak cukup tidur. Rasanya
lelap sekali aku tertidur, tidak terasa kami sudah memasuki wilayah merapi.
Jalanan berliku dan terjal juga debu yang begitu tebal menjadi trak tersendiri.
Sesaat mobil terhenti untuk memberi jalan truk-truk besar yang melintas. Di
tengah perjalanan pemandangan begitu indah, tebing-tebing curam, bebatuan yang
besar, bukit-bukit yang indah menjadi pemandangan disepanjang perjalanan kami.
Kira-kira kami menempuh perjalanan 2 jam. Dari kejauhan sebuah tugu bertuliskan
“KAMPUNG QUR’AN MERAPI” menjadi ucapan selamat datang. Kami pun turun dan
disambut ramah oleh warga dan pengurus kampung qur’an yang bernama mas Aryo,
pria tinggi putih, dengan wajah teduh dan khas jawanya itu. Kami langsung
merebahkan diri sejenak di saung qur’an. Setelah melonggarkan kembali
otot-otot, ku bergegas keluar. Melihat-lihat sekeliling tempat ini. Ada sebuah
masjid yang lumayan besar tepat di sebelah kanan saung qur’an, sebuah kandang
sapi disebelah kirinya. Kami semua berfoto, dan berkeliling. aku pergi ke
kandang sapi untuk sekedar berkenalan dengan lima sapi itu
, memberi makan dan
berfoto-foto. Setelah itu kami kembali kesaung untuk mencicipi kue-kue yang
disuguhkan mas Aryo sambil berbincang-bincang. Sungguh luar biasa yang namanya
mas Aryo ini. Beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada jurusan Komunikasi
Pembangunan. Beliau sudah satu tahun menetap di kampung qur’an ini untuk
mengabdikan diri. sempat ada ustad lain yang membantu, tapi beliau mengundurkan
diri. Mas Aryo sungguh luar biasa, mengamalkan ajaran islam sendirian dan
menetap di merapi ini. Yang apa kalian tau? Jarak dari sini ke pasar saja 5km.
Beliau mengabdi sendiri dan berbaur pada masyarakat sekitar. Apa kalian tau?
Dulu misionaris sempat akan menguasai daerah sini, dengan sigap Daarul Qur’an
mencegahnya. Sekitar 80 rumah qur’an semi permanen dibangun untuk para penduduk
sini
, dan tiga saung qur’an untuk tempat menuntut ilmu, juga beberapa masjid
dibangun untuk media penyebaran ajaran islam. Apa kalian tau? Sebelumnya
masyarakat sini masih jauh dari ajaran islam. Konon sebelum kejadian gunung
merapi meletus tahun 2010, masyarakat disini banyak yang meminum minuman keras,
bermain judi, dan lain-lain. Banyak pula yang masih menganut paham animisme. bukan
hanya sekedar berdakwah atau mengajarkan ajaran islam. Bantuan, dukungan, dan
suport yang harus kita berikan. Entah itu dengan materil, material, ilmu, semangat,
dan perhatian. Mereka semua butuh kita, butuh uluran tangan kita, bukan sekedar
perkataan atau dakwahan kita saja. Pendekatan secara fisik dan psikologispun
nyatanya memang diharuskan. Bagaimana mas Aryo bersusah payah menarik para
penduduk agar mau mengikuti ajaran islam, itu sangat sulit. Ikut berbaur dengan
masyarakat, menjadi bagian dari masyarakat, mengikuti kegiatan masyarakata
dalam hal positif seperti berkebun, berternak, dan lain sebagainya. Menarik
hati anak-anak dengan cara bermain bersama, semua itu mas Aryo lakukan demi
menarik hati mereka agar mau mengikuti ajaran islam dan meninggalkan kebiasaan
buruk mereka yang sebelumnya. Mendengar cerita mas Aryo pada bulan puasa
kemari, saat waktu sahur tiba terdengar suara gemuruh yang tak ada hentinya. Beberapa
orang mungkin berpikir itu suara truk pengangkuit pasir tapi ternyata tidak. Itu
sebuah suara dari perut gunung. Masyarakat berbondong-bondong memperingati
masyarakat lainnya. Mas Aryo ikut keluar, semua penduduk berhamburan keluar. Mereka
segera menepi ke pengungsian di bawah kaki gunung yang jauhnya kira-kira 5km. Dengan
pencahayaan obor yang seadanya mereka semua berjalan melintasi lintasan yang
terjal. Betapa tidak? Turunan gunung
yang terjal, pepohonan yang rindang, serta kegelapan malam yang kelam mereka
taklukan bersama-sama untuk menyelamatkan diri. mereka takut terjadi hal yang
serupa seperti kejadian merapi tahun-tahun yang lalu. Seorang Da’i yang tak
masuk tv, begitulah sebutanku kepada mas Aryo. Begitu banyak pengorbanan yang
beliau lakukan, terpaut usianya yang masih sangat muda, kira-kira diatas 20
tahun mungkin 25 tahun. Dengan usia yang begitu muda, beliau melakukan sesuatu
yang sangat mulia dan luar biasa. Aku sirik melihatnya, aku sirik mendengar
ceritanya, aku sirik memandang keteguhan sikapnya. Setelah lama berbincang,
kami segera makan siang lalu sholat dzuhur bersama. Setelah itu aku, teh Novi
dan teh Lexy diantar mas Aryo untuk beristirahat disalah satu rumah penduduk
yang jaraknya cukup dekat dengan saung qur’an. Rumah bu uin yang begitu
sederhana namun hangat dibuatnya, karena penghuni rumah begitu ramah dan
membuat kami nyaman. Kami beristirahat sejenak sampai ba’da ashar, aku langsung
sholat.
Kami bergegas turun
untuk pergi ke saung qur’an yang dibawah
. Bertemu adik-adik yang akan mengaji.Jalanan
terjal berdebu, jembatan kayu rapuh, pepohonan lebat dan jalan turunan menjadi trek perjalanan kami
saat itu. disana adik-adik sudah menunggu untuk lekas setoran membaca iqra.
Kira-kira anak TK sampai kelas 4 SD yang berada disana. Kamipun ikut membantu
mas Aryo untuk mendampingi mereka. setelah mengaji, kami bermain bersama.
Setidaknya memberikan perkenalan yang mengesankan bagi mereka. oh ya, ada panggilan
khusus dari mas Aryo untuk mereka. Jika mas Aryo memanggil “Santri....” mereka
menjawab “Siap ustadz...’. jika mas Aryo panggil “Santri, santri, santri”
mereka menjawab “Siap, siap, siap”. Sungguh menyenangkan melihat mereka semua
begitu antusias mengaji. Aku jadi terharu, membayangkan dulu mas Aryo bersusah
payah menjemput mereka agar mau menuntut ilmu di saung qur’an yang katanya
dengan sedikit paksaan dan bujukan. Dan alhamdulillah sekarang mereka sudah
sadar akan hal itu. bukan hanya anak kecil saja yang menuntut ilmu, para
remaja, orang dewasa bahkan kakek nenek pun tak mau ketinggalan. Ada yang masih
iqra 1, iqra 2 tapi mereka tak patah semangat untuk menuntut ilmu. Mengikuti
ajaran islam dengan sungguh-sungguh. Banyak yang mas Aryo ajarkan kepada
masyarakat merapi disana.Setelah itu, kami sholat magrib dan isya disana. Kami
pulang ke saung qur’an atas sekitar jam 7.30 malam. Cukup menakutkan,
dipegunungan yang hanya ada pencahayaan lampu seadanya kita berjalan membelah
kegelapan malam. Sebuah pengorabanan kecil yang kami lakukan jauh dari
pengorbanan mas Aryo bahkan lebih jauh dari pengorbanan Walisongo dan sangat
amat jauh dari perjuangan nabi Muhammad. Setelah sampai saung qur’an, kita
dijamu makan malam spesial. Ayam goreng, sayur, sambal, lalapan, dan lainnya.
Dengan lahap kami semua menyantap makanan yang disuguhkan dengan ala lesehan.
Masyarakat yang memasak itu semua untuk kami. Subhanalloh, begitu ramah dan
baiknya kami diterima dikampung ini. Setelah menyantap hidangan mas Aryo mengantar
para akhwat ke rumah bu Uin sedangkan para ikhwan bermalam disaung qur’an.
Beruntunglah ada kamar tertutup didalam saung, jadi mereka tidak akan
kedinginan.oleh hebusan angin pegunungan yang begitu dingin yang membuat kami
semua mengeluarkan asap dari hidung dan mulut kami. Setelah sampai rumah bu
Uin, kamipun beristirahat, karena esok hari kita akan traking ke gunung merapi,
mendekati puncaknya. Wah luar biasa, selintas aku jadi ingat film 5cm. Heheh
Keesokan
harinya tepat pukul 5 pagi aku dibangunkan teh lexy, aku bergegas sholat.
Setelah beberapa lama mas maulana membangunkan kita lewat telepon. Para ikhwan
sudah menunggu kita diluar. Kami bergegas merapihkan diri dan berangkat mendaki
gunung. Aku hanya berpakaian kaos, jaket tipis lalu dilapisi jaket tebal yang
ku pinjam dari teh lexy, untunglah beliau membawa dua jaket jadi aku dapat
meminjamnya dan dengan beralaskan kaos kaki dan sendal jepit.
Kami mendaki
gunung, dengan nafas yang terengah-engah, dengan kaki yang terkadang lemah,
dengan semangat yang tak terkalahkan. Kami berjalan terus menerus, walau lelah
menyelimuti tapi semangat kami tak kunjung mati. Walau dingin yang luar biasa
menyelimuti dengan semangat yang membara dapat menghangtkan kami. Kan kami
taklukan gunung merapi ini dengan kaki kami yang berpijak dibumi pertiwi ini.
Lebay sekali rasanya, tapi memang begitu adanya. Perjalanan kira-kira 1 jam
lebih. Pemandangan yang indah mengusir rasa lelah kami. Tebing, jurang,
pepohonan rindang kicauan burung, dan suasana alam yang mendukung membuat aku terhanyut
dengan suasana disini. Diperjalanan sesekali kumelihat penduduk yang mebawa
arit, entah untuk apa. Yang mencengangkan, aku melihat sosok nenek-nenek yang
berjalan mendaki gunung. Sungguh luar biasa sekali, kami yang masih muda ini
dengan berjalan tergopoh-gopoh. Beliau yang sudah lanjut usia ini begitu gigih
dan semangat, sungguh luar biasa. Aku tak banyak bicara, karena aku tidak
menguasai bahasa jawa. Jika menyapa penduduk disitu, aku hanya melemparkan
senyuman dan tundukan kepala saja kurasa itu sudah cukup. Perjalanan kami
terhenti sampai di pos pantau saja. Kami tidak melanjutkan ke puncak gunung
merapi karena waktu kami tidak cukup banyak. Tapi sungguh pemandangan yang amat
sangat luar biasa.
Bukit-bukit nan hijau, pegunungan yang berbaris rapih, angin
berhembus dengan patuhnya, dan suasana alam yang sangat sejuk memanjakanku. Aku
dan rombongan tak ingin kehilangan momen seperti ini. Aku yang sedari tadi
merekam keindahan dari bawah sana, sejak sampai diatas ini, semuanya berfoto
mengabadikan keindahan ciptaan Alloh. Aku lekas naik ke atas pos pemantau,
diatas sana semua pemandangan tersapu oleh pandanganku. Sungguh luar biasa
keagungan potrot indah yang Alloh ciptakan.
Setelah
beberapa lama menikmati panorama gunung merapi, kami bergegas turun kembali. Membersihkan
diri dan sarapan pagi. Sekitar jam 12 siang, pihak Daarul Qur’an Jogja
menjemput kami. Kami segera berpamitan dan berfoto untuk kenang-kenangan. Rasanya
begitu berat hati meninggalkan kampung qur’an merapi, beritu banyak pelajaran
berharga yang ku dapat dari sana. Sebuah pengorbanan besar, sebuah perbuatan
yang amat sangat mulai, dan sebuah keteguhan dan keikhlasan hati yang begitu
besar. Setelah itu kami bernagkat ke Daqu clinic. Perjalanan kira-kira 1 jam
lebih, seperti biasa aku tertidur lelap. Disana kita berkenalan dan berbincang
dengan para perawat disana. Berkeliling di sekitar clinic yang amat sangat
bersih, namanya juga clinic. Ada ruang laboratorium,
ruang pasien wanita,
pasien pria, ruang nifas, ruang bersalin, ruang tindakan, ruang terapi al-qur’an,
dan lain sebagainya. Setelah berkeliling kami berkumpul di ruang terapi qur’a,
berkenalan dengan ustadz fauzan. Kami disuruh bercerita tentang perjalanan kami
selama dijogja, sepertinya beliau sedang membaca kepribadian kami. Ya, aku
bercerita dengan gayaku sendiri. Setelah itu kami dapat kajian-kajian al qur’an
dari beliau. Beberapa lama berbincang, kami segera pulang dan lekas menuju
penginaman untuk menyimpan barang karena malam harinya kami akan pergi ke Gor
Among Rogo. Setelah sampai dipenginapan kami langsung membersihkan diri,
sholat, dan lekas ke TKP. Dengan berjalan kaki menikmati suasana Jogja yang
hangat dan bersensasi lain. Akhirnya beberapa lama kemudian kami sampai di Acara
Indonesia berjamaah
yang diadakan ustadz Yusuf Manshur. Beruntunglah, aku rombongan
mendapat undangan, jadi diberi kehormatan duduk dipaling depan dan mendapatkan
beberapa snack. Acara mulai pukul 8 malam sampai 10 malam. Ustadz menyampaikan
tentang patungan usahanya. Mengajak masyarakat agar membeli Indonesia kembali
sedikit demi sedikit. Menjadi inventaris, bukan menjadi buruh saja. Setelah itu
aku, teh Novi, teh Lexy dan kang Maulana segera melangkahkan kaki kedepan Gor
untuk mengedrop taxi untuk pergi ke Malioboro. Teman-teman yang lain tak
menyusul, mereka pulang dan beristirahat dipenginapan. Kami turun di Bang
Indonesia, berjalan disekitar Malioboro, melihat-lihat bangunan sekitar. Melihat
taman pintar, benteng vredeburg, jalanan malioboro, jajanan pinggir jalan dan
kumpulan anak remaja yang sedang menikmati dunia malam. Berjalan membelah dunia
malam di malioboro
, menikmati kuliner khas Jogja dan berbelanja beberapa kaos. Setelah
itu kami langsung segera pulang ke penginapan, agar besok pagi kami tidak
kesiangan bangun untuk kembali ke kota Bandung. Sesampainya di penginapan, kami
langsung membersihkan diri dan kemudian tidur. Keesokan harinya kami bergegas bangun
dan bersiap ke terminal untuk lekas membeli tiket bis ke Bandung.
Rasanya belum
puas berjalan-jalan, hanya segilintir sisi Jogja yang aku singgahi. Walau begitu,
sepertinya begitu banyak cerita yang aku alami. Tunggu aku datang kembali,
menjelajahi setiap sudut Jogja yang belum ku tapaki. Perjalanan yang amat
sangat berarti menjadi memori dan sensasi tersendiri.
6 comments:
Hebat Nes !
Keren !
:D
alhamdulillah... mkasih mas dika :)
klo inget Yogya, jdi pengen Mudik ke yogya teh xixiiii..... mantap perjalanan teh Nesya ... :)
hehehekalau mudik jangan lupa oleh-olehnya ya pak. hehehe
iya, berkesan banget pak
Mantaaappp tulisannya
Mantaaappp tulisannya
Post a Comment
JANGAN LUPA KASIH KOMENTAR YAH ... ;)