Berdiri mematung
didepan telepon umum, ku coba untuk menghubungimu. Dengan ragu ku angkat gagang
telepon itu, ku rogoh saku celana untuk mengambil beberapa uang receh yang
telah kusiapkan terlebih dahulu. Beberapa menit berlalu, aku diam seribu bahasa
tanpa melalukan apapun. Ku mantapkan hati, ku masukan uang logam lima ratusan
ke dalam lubang telepon umum itu. Dengan ragu ku tekan beberapa angka untuk
menyambungkan ke seseorang disana. Telepon pun tersambung, jantungku berdegup
cepat lebih cepat dari suara genderang perang yang bergemuruh. Tanganku gemetar,
takut, dan gugup tak menentu. Seakan menantikan fonis dokter sebuah penyakit
mematikan.
“Halo...” Suara
pria disebrang sana menyaut padaku. Terdengar jelas, siapa pemilik suara itu..
ya, kamu. Cinta pertamaku yang membuatku hampir gila dibuatmu.
Panik setengah
mati aku mendengar suaramu. Ku tutup cepat telepon itu.
“Apa yang ku
lakukan?” Ku bertanya pada hati. “Bodohnya, mending tadi aku langsung bersuara”
Hari itu aku
menyesali apa yang terjadi. Kesempatan itu ku sia-siakan tanpa ku pikirkan. Semalaman
aku berkeluh kesah dalam sebuah penyesalan. Rindu yang menggebu seakan
bergemuruh pada hatiku. Yang mungkin beberapa saat lagi akan meledak dibuatnya.
Gelisah memikirkan bagaimana kabar tentangmu,? Apa kau tumbuh dengan baik?
bagaimana sekolah mu? Apa saja yang kau lakukan setiap hari? Apa kau makan
dengan teratur? Yang paling penting, apa kau mengingat diriku? Semua hal itu
ingin sekali ku pertanyakan pada dirimu. Namun aku tak sanggup. Seakan lidah
ini kelu dibuatmu. Sekujur tubuhku terpaku karenamu. Namun hati ini selalu
ingin melakukan hal itu. Ku coba keberuntunganku lagi dikeesokan harinya. Aku pergi
ketempat telepon umum pinggir jalan. Tekadku sudah bulat, hari ini aku akan
meneleponmu tanpa ragu. Ku rogoh saku untuk mengambil uang recehan, kumasukan
uang logam lima ratusan ke dalam telepon umum. Ku tekan beberapa nomor
teleponmu. Sesaat telepon tersambung.
“Halo...” Sosok
wanita disana yang menyapaku. Sepertinya ibumu.
“Halo, assalamu’alaikum”
Sapaku dengan ragu.
“Waalaikumsalam,
maaf ini dengan siapa?” Wanita disana bertanya padaku.
“Saya Nesya.
Bisa bicara dengan Rizky?” Menyebut namamu, seakan luluh lantak hatiku. Seakan salah
tingkah, kaki ku tak bisa diam bergerak kedepan dan kebelakang. Tanganku pun
begitu, menggulung gulung kabel telepon yang tersambung.
“Oh iya,
sebentar ya.” Beberapa saat aku menunggu.
“Halo,
Assalamualaikum.” Suara pria yang ku kenal selama beberapa tahun ini.
“Waalaikumsalam.
Masih inget Nesya, ky?” Tanyaku basi basi padamu.
“Oh Nesya. Iya inget
dong. Ada apa?” Jantungku berdegup kencang dibuatmu. Seakan aku sedang menaiki
roller coaster yang menguji adrenalinku.
“Gimana
kabarnya?”
“Alhamdulillah
baik. Nesya sendiri?”
“Syukurlah. Alhamdulillah
baik.” jawabku sambil tersenyum ragu. “Sekolahnya lancar?”
“Alhamdulillah
lancar, nes. Nesya sendiri?” Tanyamu balik, sepertinya kau hanya bertanya
seperti apa yang ku pertanyakan padamu. Ku sadari bahwa kita sudah tidak
seperti dulu yang selalu bercengkrama sepanjang waktu. Tapi cobalah untuk
sedikit mencairkan suasana hatiku, tapi kau tak mampu.
“Alhamdulillah
lancar juga. syukurlah, ky. Yauda, Nesya tutup teleponnya ya. Udah tau kabar
Rizky itu udah lebih dari cukup. Makasih. Wassalamu’alaikum”
“Oh iya nes
sama-sama. Waalaikumsalam.’ Ku tutup telepon. Ku genggam gagang telepon dengan
erat. Ku hela napas panjang-panjang.
“Aku berhasil
mengalahkan rasa ragu dan takutku untuk menghubungimu.” Memang sudah beberapa
tahun ini kita tak bertemu. Tapi pesonamu sangat pekat berada dipelupuk mataku.
Karena saat mataku terbuka aku selalu membayangkanmu, dan dalam mata
terpejampun aku masih mampu melihatmu. Aku terjebak dalam kisah masalalu yang
ku sebut itu cinta. Cinta masalalu dan cinta pertamaku. Andai saja dongeng
dalam cerita itu nyata adanya dalam hidupku, mungkin sekarang aku dapat
memilikimu. Tapi aku berpijak pada bumi yang menyadarkanku akan kenyataan, bahwa
kau adalah langit yang sulit ku gapai. Karena kau hanya sebuah ilusi, sebuah
dongeng pengantar tidur yang selalu menemaniku, yang selalu berada dalam
imajinasiku. Karena kau hanya tampak dalam setiap kenangan kita dulu, sebelum
kita terpisahkan ruang dan waktu. Aku bagai syair lagu tanpa simfonimu. Karena denganmu
aku merasa utuh dan tidak separuh. Andai saja aku dapat menuliskan masa depanku
denganmu seperti dongeng yang selalu ku imajinasikan denganmu. Aku hanya dapat
menundukkan kepalaku dan berdo’a dalam sujudku, agar ku mampu menjadi
satu-satunya kekasihmu sepanjang waktu.
0 comments:
Post a Comment
JANGAN LUPA KASIH KOMENTAR YAH ... ;)