NESYA PUSPITA PUTRI

Tuesday 11 February 2014

PAYPHONE


Berdiri mematung didepan telepon umum, ku coba untuk menghubungimu. Dengan ragu ku angkat gagang telepon itu, ku rogoh saku celana untuk mengambil beberapa uang receh yang telah kusiapkan terlebih dahulu. Beberapa menit berlalu, aku diam seribu bahasa tanpa melalukan apapun. Ku mantapkan hati, ku masukan uang logam lima ratusan ke dalam lubang telepon umum itu. Dengan ragu ku tekan beberapa angka untuk menyambungkan ke seseorang disana. Telepon pun tersambung, jantungku berdegup cepat lebih cepat dari suara genderang perang yang bergemuruh. Tanganku gemetar, takut, dan gugup tak menentu. Seakan menantikan fonis dokter sebuah penyakit mematikan.
“Halo...” Suara pria disebrang sana menyaut padaku. Terdengar jelas, siapa pemilik suara itu.. ya, kamu. Cinta pertamaku yang membuatku hampir gila dibuatmu.
Panik setengah mati aku mendengar suaramu. Ku tutup cepat telepon itu.
“Apa yang ku lakukan?” Ku bertanya pada hati. “Bodohnya, mending tadi aku langsung bersuara”
Hari itu aku menyesali apa yang terjadi. Kesempatan itu ku sia-siakan tanpa ku pikirkan. Semalaman aku berkeluh kesah dalam sebuah penyesalan. Rindu yang menggebu seakan bergemuruh pada hatiku. Yang mungkin beberapa saat lagi akan meledak dibuatnya. Gelisah memikirkan bagaimana kabar tentangmu,? Apa kau tumbuh dengan baik? bagaimana sekolah mu? Apa saja yang kau lakukan setiap hari? Apa kau makan dengan teratur? Yang paling penting, apa kau mengingat diriku? Semua hal itu ingin sekali ku pertanyakan pada dirimu. Namun aku tak sanggup. Seakan lidah ini kelu dibuatmu. Sekujur tubuhku terpaku karenamu. Namun hati ini selalu ingin melakukan hal itu. Ku coba keberuntunganku lagi dikeesokan harinya. Aku pergi ketempat telepon umum pinggir jalan. Tekadku sudah bulat, hari ini aku akan meneleponmu tanpa ragu. Ku rogoh saku untuk mengambil uang recehan, kumasukan uang logam lima ratusan ke dalam telepon umum. Ku tekan beberapa nomor teleponmu. Sesaat telepon tersambung.
“Halo...” Sosok wanita disana yang menyapaku. Sepertinya ibumu.
“Halo, assalamu’alaikum” Sapaku dengan ragu.
“Waalaikumsalam, maaf ini dengan siapa?” Wanita disana bertanya padaku.
“Saya Nesya. Bisa bicara dengan Rizky?” Menyebut namamu, seakan luluh lantak hatiku. Seakan salah tingkah, kaki ku tak bisa diam bergerak kedepan dan kebelakang. Tanganku pun begitu, menggulung gulung kabel telepon yang tersambung.
“Oh iya, sebentar ya.” Beberapa saat aku menunggu.
“Halo, Assalamualaikum.” Suara pria yang ku kenal selama beberapa tahun ini.
“Waalaikumsalam. Masih inget Nesya, ky?” Tanyaku basi basi padamu.
“Oh Nesya. Iya inget dong. Ada apa?” Jantungku berdegup kencang dibuatmu. Seakan aku sedang menaiki roller coaster yang menguji adrenalinku.
“Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik. Nesya sendiri?”
“Syukurlah. Alhamdulillah baik.” jawabku sambil tersenyum ragu. “Sekolahnya lancar?”
“Alhamdulillah lancar, nes. Nesya sendiri?” Tanyamu balik, sepertinya kau hanya bertanya seperti apa yang ku pertanyakan padamu. Ku sadari bahwa kita sudah tidak seperti dulu yang selalu bercengkrama sepanjang waktu. Tapi cobalah untuk sedikit mencairkan suasana hatiku, tapi kau tak mampu.
“Alhamdulillah lancar juga. syukurlah, ky. Yauda, Nesya tutup teleponnya ya. Udah tau kabar Rizky itu udah lebih dari cukup. Makasih. Wassalamu’alaikum”
“Oh iya nes sama-sama. Waalaikumsalam.’ Ku tutup telepon. Ku genggam gagang telepon dengan erat. Ku hela napas panjang-panjang.
“Aku berhasil mengalahkan rasa ragu dan takutku untuk menghubungimu.” Memang sudah beberapa tahun ini kita tak bertemu. Tapi pesonamu sangat pekat berada dipelupuk mataku. Karena saat mataku terbuka aku selalu membayangkanmu, dan dalam mata terpejampun aku masih mampu melihatmu. Aku terjebak dalam kisah masalalu yang ku sebut itu cinta. Cinta masalalu dan cinta pertamaku. Andai saja dongeng dalam cerita itu nyata adanya dalam hidupku, mungkin sekarang aku dapat memilikimu. Tapi aku berpijak pada bumi yang menyadarkanku akan kenyataan, bahwa kau adalah langit yang sulit ku gapai. Karena kau hanya sebuah ilusi, sebuah dongeng pengantar tidur yang selalu menemaniku, yang selalu berada dalam imajinasiku. Karena kau hanya tampak dalam setiap kenangan kita dulu, sebelum kita terpisahkan ruang dan waktu. Aku bagai syair lagu tanpa simfonimu. Karena denganmu aku merasa utuh dan tidak separuh. Andai saja aku dapat menuliskan masa depanku denganmu seperti dongeng yang selalu ku imajinasikan denganmu. Aku hanya dapat menundukkan kepalaku dan berdo’a dalam sujudku, agar ku mampu menjadi satu-satunya kekasihmu sepanjang waktu.

0 comments:

Post a Comment

JANGAN LUPA KASIH KOMENTAR YAH ... ;)

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons